Aliansi Gerak Tutup TPL Berdemonstrasi Peringati Hari Tani
Untuk memperingati Hari Tani Nasional, Masyarakat Adat Tano Batak yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Rakyat (GERAK) Tutup TPL berdemonstrasi di Balige pada Senin, 26 September 2022. Adapun tuntutan Aliansi GERAK Tutup TPL yang terdiri dari komunitas masyarakat adat, kelompok tani dan serikat tani meminta kepada pemerintah untuk segera :
1.Mengembalikan tanah adat/ hak atas tanah
2.Perlindungan komoditas kemenyan/ Perlindungan dan pemberdayaan petani
3.Hak atas sumber daya air
4.Hentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat/petani
5.Laksanakan Reforma Agraria Sejati (UUPA 1965)
Berdasarkan sejarahnya, Hari Tani yang diperingati setiap 24 September merujuk pada hari pengesahan UU nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UUPA merupakan pijakan formal bagi revolusi di sektor agraria yang menjungkirbalikkan model pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah. UUPA tak hanya menjamin hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia, tetapi juga memperjuangkan keadilan agraria sebagai pijakan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Namun, meski sudah dijamin oleh UUPA 1960, upaya mewujudkan keadilan agraria tidak berjalan mulus. Program land-reform berjalan sangat lambat. Paska pengesahan UUPA, konflik agraria masih terus terjadi. Baik antara petani dengan pengusaha ataupun antara masyarakat adat dengan perusahaan. Keadilan agraria masih belum terwujud dan jauh dari kata baik 61 tahun setelah pengesahan UUPA.
Berdasarkan data BPS, gini rasio kepemilikan tanah masih di kisaran 0,54 sampai 0,67. Data menunjukkan, 6 persen petani terkaya menguasai 38,5 persen tanah pertanian. Sedangkan 56 persen petani hanya menguasai 12 persen lahan pertanian. Menurut Ketua AMAN Tano Batan Roganda Simanjuntak, dari data tersebut jelas sudah terlihat keberpihakan setengah hati pemerintah kepada petani yang merupakan pekerjaan mayoritas penduduk Indonesia, termasuk penduduk yang ada di Tapanuli Raya. "Sehingga perampasan dan monopoli tanah terus berlangsung dan semakin massif; tindakan kekerasan, penangkapan, pemenjaraan terhadap kaum tani, kriminalisasi terus meningkat dan meluas di berbagai wilayah," kata dia.
Tidak hanya itu, massifnya klaim sepihak pemerintah dan perusahaan terhadap hak wilayat atau tanah tanah adat yang ada di Tapanuli terus langgeng hingga saat ini. "Masih segar dalam ingatan kami peristiwa kekerasan yang dialami oleh masyarakat adat di Natumingka, represivitas oleh pihak kepolisian di Sihaporas, pemanggilan dengan tuduhan pengrusakan kepada asyarakat adat Op Ronggur Simanjuntak dan Natinggir," kata dia. Peristiwa itu semakin menunjukkan masyarakat terutama petani semakin menjauh dari kata sejahtera.