Perempuan Adat Tano Batak Melawan Deforestasi

Perempuan adat Tano Batak melakukan aksi membentangkan spanduk raksasa di Danau Toba pada Rabu, 20 Juli 2022. Banner tersebut bertuliskan 'Perempuan Sumatera Utara Lawan Deforestasi'. Banner tersebut diapungkan di Danau Toba.

Banner itu dibentangkan oleh sejumlah aktivis serta perempuan adat Tano Batak. Lewat aksi tersebut, mereka menyampaikan pesan kepada para partisipan W20 Summit di Parapat, Sumatera Utara, mengenai pentingnya menjaga hutan dan hak-hak masyarakat adat. Khususnya perempuan adat dari ancaman deforestasi dan eksploitasi lahan.

"Aksi ini adalah bentuk penyampaian aspirasi kami bahwa pertemuan W20 Summit yang mengedepankan isu kesetaraan dan diskriminasi gender, ekonomi inklusif, perempuan marjinal dan kesehatan, seharusnya juga berkaca pada yang terjadi di hutan Sumatera Utara dan sekitarnya. Banyak masyarakat adat khususnya perempuan adat dan pedesaan terpaksa kehilangan ruang hidupnya akibat perampasan tanah dan hutan yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar, demi meraup keuntungan semata," kata Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Menurut Sekar, perempuan adat di tanah Sumatera Utara dan hampir seluruh wilayah Indonesia telah lama menjadi korban akibat ketimpangan struktural dan pembangunan eksploitatif yang tidak memperhatikan aspek gender. Berbagai program pembangunan telah menimbulkan konflik sosial serta kehancuran lingkungan hidup yang kemudian mengesampingkan dan bahkan melanggar hak-hak perempuan.

Sementara itu, Perempuan Adat Sihaporas Mersy Silalahi, berharap keberpihakan pemerintah kepada masyarakat adat yang tengah berjuang mempertahankan wilayah adatnya. "Kami berharap pemerintah melindungi kami. Jangan ada lagi penangkapan masyarakat adat," kata dia. Bagaimana pun juga, kata dia, kami akan tetap memperjuangkan wilayah adat kami hingga titik darah penghabisan.

Kelompok perempuan adalah kelompok yang paling rentan kehilangan sumber penghidupan akibat kasus penghancuran hutan dan perampasan lahan, serta seringkali juga mengalami kekerasan di wilayah-wilayah konflik agraria.

Menurut Rocky Pasaribu dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), meskipun Presiden Jokowi telah menyerahkan 4 SK Hutan Adat di Danau Toba pada awal Februari 2022, namun belum menjawab persoalan masyarakat adat di Danau Toba. Masih banyak konflik agraria yang belum diselesaikan dengan serius. "Atas nama pembangunan perampasan tanah terus terjadi. Selain perampasan tanah adat, kerusakan hutan dan lingkungan juga tidak serius ditangani," kata dia.

Rocky juga menyinggung ihwal perampasan tanah yang dilakukan akibat kehadiran PT TPL. Menurut dia, ini merupakan pemiskinan struktural yang telah terjadi lebih dari tiga dekade, dan berkontribusi besar memperburuk kualitas hidup perempuan. Kehadiran dua perusahaan besar seperti PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan PT Dairi Prima Mineral (DPM) telah lama merenggut hak-hak perempuan adat di wilayah Tano Batak dan menghancurkan hutan kemenyan.

Roganda Simanjutak mengatakan kehidupan masyarakat adat sangat tergantung kepada hutan. "Hilang hutan maka akan hilang sumber kehidupan terutama bagi Masyarakat Kawasan Danau Toba," kata Roganda. Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi menyebabkan krisis iklim yang menyulitkan para petani untuk menentukan musim tanam. Para petani juga seringkali mengalami gagal panen akibat buruknya cuaca yang tidak dapat diprediksi.

Pada pertengahan 2020, datang ancaman baru seiring lahirnya proyek pangan skala besar atau Food Estate. Proyek yang digadang-gadang sebagai program ketahanan pangan untuk menangani krisis pangan di masa yang akan datang, nyatanya malah menghilangkan budaya, pengalaman, dan pengetahuan perempuan dalam corak pertanian lokal. Mereka harus berpatokan pada sistem pasar yang ditentukan oleh pemerintah dan korporasi besar.

Menurut Roganda, proyek ini, sama halnya dengan proyek pertanian sebelumnya, hanya akan melahirkan konflik baru, industrialisasi pangan yang mengenyampingkan masyarakat, serta monopolisasi lahan-lahan pertanian dengan skema yang tampak baik di permukaan saja. Negara anggota G20 yang merupakan forum ekonomi utama dunia dimana secara kolektif mewakili dua per tiga atau sekitar 65 persen penduduk dunia, 79 persen perdagangan global, dan setidaknya 85 persen perekonomian dunia memiliki posisi strategis bagi keberlanjutan lingkungan hidup dan penanganan krisis iklim.

Indonesia sebagai pemegang Presidency G20 harus memastikan bahwa ada kesepakatan yang lebih ambisius yang harus dicapai untuk mengedepankan model pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Salah satunya dengan beralih ke energi terbarukan yang berkeadilan, dan menghentikan kebijakan ekonomi pembangunan yang berbasis lahan yang mendorong deforestasi, merampas hak- hak masyarakat adat dan petani, serta hanya menguntungkan segelintir elit.

Organisasi yang terlibat : KSPPM, Greenpeace, KPA, AKSI, RAN, AMAN, BAKUMSU, BITRA, PDPK, Petrasa, YAK, Yapidi.

Share this Post: