Cerita dari Huta Natumingka
Natumingka adalah nama sebuah desa di Kecamatan Bor-Bor, Kabupaten Toba, Sumatera Utara. Untuk menempuh desa yang berada di dataran tinggi Tapanuli itu, kita harus menempuh perjalanan selama kurang lebih dua jam dengan titik keberangkatan dari pusat kota Balige.
Kita akan disambut dengan jalanan berbatu terjal yang berserakan dan berlubang di sana-sini untuk menuju pusat desa. Di sana bermukim Komunitas Adat turunan Ompu Punduraham Simanjuntak yang umumnya berprofesi sebagai petani. Sejauh mata memandang, hamparan ladang jagung, kebun alpukat, aren, dan kopi, menjadi bentang alam utama yang akan dijumpai.
Menurut penjelasan Ketua Komunitas Adat Natumingka, Natal Simanjuntak, bumi Natumingka telah didiami oleh Masyarakat Adat Natumingka selama 10 generasi. Ia bercerita, dulunya, selama beratus-ratus tahun, masyarakat memanfaatkan hutan sebagai sumber kehidupan utama. Hingga pada era 1970-an, dengan dalih Program Reboisasi yang dilakukan pemerintahan Orde Baru, Dinas Kehutanan (kini Kesatuan Pemangku Hutan) Tapanuli Utara meminta agar tanah titipan Ompu Duraham Simanjuntak ditanami pohon pinus.
Namun, pada 1986, pemerintah justru memberikan areal hutan yang telah ditanami pohon pinus kepada PT Inti Utama Indorayon (yang sekarang menjadi PT Toba Pulp Lestari). Akibatnya, sebagian besar hutan adat Natumingka dibabat oleh perusahaan dan ditanami dengan eukaliptus. Izin konsesi itu diberikan ke perusahaan tanpa pernah memberi tahu atau berdiskusi dengan masyarakat adat Natumingka sebagai pemilik lahan yang sesungguhnya.
Proses pemberian izin konsesi yang seolah-olah menipu masyarakat ini diprotes oleh masyarakat adat Natumingka. Protes dilayangkan ke Dinas Kehutanan era itu. Namun, tak ada penyelesaian apa-apa. Justru masyarakat yang gencar melawan dan memprotes dianggap tidak mendukung program pembangunan pemerintah dan diberi cap perusuh yang melawan pemerintah.
Masyarakat tak berdaya melawan kekuatan sebesar itu dan memilih bungkam. Namun, tindakan perusahaan dianggap semakin tak beretika dengan menggusur pemukiman, ladang yang masih produktif, dan puncaknya menggusur situs makam leluhur yang memuat informasi asal-usul identitas masyarakat Natumingka. Sejak itu konflik dimulai dan belum selesai hingga saat ini.
Bersatu Melawan
Pada 2018, masyarakat mulai berani melawan secara terbuka dan sepakat berjuang bersama-sama untuk merebut kembali tanahnya dari genggaman korporasi. Perjuangan tersebut dilakukan dengan melakukan pemetaan partisipatif yang dibantu oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) wilayah Tano Batak. Dari pemetaan itu diketahui luas wilayah adat mereka adalah 1.426 hektar.
Menurut Natal Simanjuntak, perjuangan masyarakat untuk merebut kembali wilayah adatnya masih belum membuahkan keberhasilan. Mereka menghadapi pelbagai rintangan, mulai dari intimidasi yang dilakukan perusahaan hingga ancaman yang berujung kriminalisasi terhadap masyarakat.
Puncaknya adalah tragedi berdarah 18 Mei 2021. Saat itu masyarakat mati-matian menghadang aktivitas perusahaan yang hendak menanami lahan masyarakat adat Natumingka dengan eukaliptus. Mereka dilempari batu dan kayu-kayu runcing serta pelbagai benda-benda tajam lainnya oleh petugas keamanan dan karyawan PT TPL. Beberapa media lokal sempat menangkap petugas keamanan perusahaan yang memberikan aba-aba pelemparan tersebut untuk menerobos barikade pertanahan warga Natumingka.
Meski ada personel kepolisian saat kejadian, mereka tak berupaya melindungi masyarakat dari kekerasan yang dilakukan petugas dan karyawan perusahaan. Akibatnya, 12 orang masyarakat Natumingka terluka. Di antara korban terdapat seorang kakek-kakek yang telah berusia 75 tahun. Meski begitu, perusahaan tetap tak bersedia bertanggung jawab.
Masyarakat Natumingka melaporkan kekerasan tersebut ke Kepolisian Resor Toba (Polres Toba). Bukti-bukti kekerasan berupa visum, foto dan video saat kejadian telah diserahkan ke kepolisian. Namun polisi tak menindak-lanjuti aduan masyarakat. Kasus tersebut kini mangkrak di tangan Polres Toba. Masyarakat sampai detik ini masih menanti ketegasan pihak kepolisian untuk menangani tragedi tersebut dengan serius.
Perusahaan juga tak segan mengadu-domba masyarakat untuk memecah belah perjuangan masyarakat adat merebut kembali lahan ulayatnya. Akibat dari upaya adu domba tersebut, masyarakat adat Natumingka kini terbelah dua. "Sudah pecah gereja dan pecah paradaton (kesatuan adat)," kata Natal.
Meski berat, kelompok yang berani melawan korporasi semakin kuat dan banyak. Hingga saat ini mereka berhasil menyatukan semangat dan membangun solidaritas untuk melawan. Komunitas Adat Natumingka menjadi semakin kuat dengan dukungan dari Perempuan Adat Natumingka dan Pemuda Adat Natumingka yang bersatu di barisan perlawanan.
Penatua Adat Komunitas Natumingka mengatakan api perjuangan masyarakat Natumingkan akan terus menyala. "Semangat solidaritas akan terus dipelihara dan dijaga hingga titik darah penghabisan," kata dia. Semangat itu pula yang membuat masyarakat memiliki kebulatan tekad untuk merehabilitasi lahan-lahan yang telah dirusak PT TPL. Mereka bertekad untuk mengembalikan fungsi hutan adat seperti sedia kala dengan cara menanam dan merawat bibit pohon di wilayah adat Natumingka.
#Sahkan_RUU_Masyarakat_Adat #Palao_TPL