Dialog dengan BPKH, Masyarakat Adat Tano Batak Tolak Pematokan

Komunitas masyarakat adat Tano Batak melakukan audiensi dengan Kantor Badan Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Medan terkait dengan pematokan yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dalam audiensi yang dilakukan pada Selasa, 12 April 2022 itu, masyarakat menolak kebijakan pematokan yang dilakukan pemerintah di atas wilayah adat mereka.

Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Tano Batak, Roganda Simanjuntak, mengatakan tujuan audiensi adalah untuk menyelesaikan konflik akibat adanya kegiatan pematokan di wilayah adat di tujuh kabupaten. Ketujuhnya adalah Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Samosir, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Kabupaten Tapanuli Selatan. "Masyarakat memberi informasi kepada AMAN Tano Batak bahwa telah dilakukan pematokan-pematokan di wilayah adat mereka sepanjang awal 2022," kata dia.

Setelah itu, menurut Roganda, pengurus AMAN Tano Batak melakukan pengecekan di lapangan melalui GPS berbekal laporan masyarakat tersebut. "Ternyata benar, kawasan yang dipatok kemudian diklaim menjadi hutan negara. Letaknya ada di perkebunan, persawahan, bahkan ada di tengah-tengah perkampungan," kata dia. Akibatnya, masyarakat resah sewaktu-waktu akan diusir dari tanah adat miliknya karena telah diklaim sebagai tanah negara oleh KLHK.

Kehadiran komunitas masyarakat adat dalam audiensi ini diwakili oleh tiga komunitas adat, yaitu: Komunitas Adat Bonani Dolok Desa Sabungan NiHuta VI Sipahutar Tapanuli Utara, Komunitas Adat Tapian Nauli II Sipahutar Tapanuli Utara, dan Komunitas Adat Holbung Sitio-tio Samosir. Dalam audiensi tersebut seluruh perwakilan masyarakat adat ini menolak klaim sepihak KLHK dan pematokan yang terus berlangsung.


Bentala Holbung Sitio-tio Samosir

Cosmas Siringo-ringo yang mewakili Komunitas Adat Holbung Sitio-tio Samosir, Sumatera Utara, mengatakan pematokan dengan mengatas-namakan penataan batas kawasan hutan dilakukan secara kurang pantas. Sebab, menurut dia, tak ada satu pun masyarakat adat di komunitas adatnya yang mengetahui ihwal kegiatan pematokan dan peruntukan kegiatan tersebut. "Kami diutus oleh masyarakat adat Holbung menolak pematokan karena di sana adalah pemukiman dan peradaban yang telah dibangun oleh nenek moyang kami dan dititipkan kepada kami," kata dia.

Cosmas mengatakan peradaban yang dibentuk oleh nenek moyangnya telah lebih dulu ada, jauh sebelum NKRI berdiri pada 1945. "Kami sudah hidup di wilayah tersebut selama 12-13 generasi, dan dapat dibuktikan dengan adanya berbagai macam artefak, situs-situs peninggalan leluhur," kata dia. Sebab itu, pematokan yang dilakukan tanpa izin tersebut dapat dikatakan sebagai penyerobotan ruang hidup masyarakat adat.

Cosmas juga menyebutkan kelembagaan adat Holbung yang masih aktif dari generasi ke generasi, hingga hari ini. Ada delapan raja adat yang ada di dalam kelembagaan adat tersebut, yaitu: Siringo-ringo, Sitinjak, Aritonang, Siregar, Batubara, Simatupang, Nainggolan, Samosir dan ditambah dengan boru Sihombing dan Simamora. Menurut Cosmas, Siringo-ringo merupakan salah satu pimpinan adat (Raja Bius) di wilayah adat Holbung.

Ia menegaskan, struktur kelembagaan tersebut masih dirawat dan masih aktif sampai sekarang, terlepas ada pemerintahan desa yang berperan secara administratif. "Meski ada pemerintahan desa, sampai saat ini kami masih dinaungi Raja Adat Naualu," kata dia.

Halasson Aritonang yang juga berasal dari Holbung menuntut yang sama. Ia menuntut pemerintah segera mencabut patok klaim hutan negara dari wilayah adat Holbung. "Kami minta segera dicabut dan menghormati keberadaan kami sebagai masyarakat adat Holbung," kata dia. Ia menyesalkan sikap arogan pemerintah yang tidak dilibatkan dan diberitahu mengenai pematokan di wilayah adat mereka.


Gaya Koloni vs Gaya Pemerintah Sendiri

Epron Simanjuntak yang mewakili Komunitas Adat Bonani Dolok mengatakan gaya pemerintah saat ini jauh berbeda dibandingkan dengan gaya pemerintahan Belanda semasa masih menguasai Sumatera Utara. Tiga dekade sebelum NKRI lahir, kata dia, pemerintah Belanda juga pernah memasang patok-patok lahan. Menurut Epson, pada 1920, pemerintahan Belanda memasang patok batas wilayah adat Sialogo dengan kawasan hutan. Saat itu, kawasan hutan yang diklaim oleh Belanda berada sangat jauh dari permukiman dan aktivitas perkebunan-pertanian warga.

Kondisi di saat itu, kata dia, sangat berbanding terbalik dengan kondisi saat ini saat pemerintah Indonesia sendiri yang memasang patok batas. Saat ini pemerintah justru mematok di dalam permukiman warga, bahkan menjadikan kebun yang digunakan secara turun temurun sebagai hutan lindung. "Kami dijajah di tanah adat kami sendiri," kata dia.

Epson mengatakan masyarakat adat Bonani Dolok memiliki prinsip lebih baik mati untuk mempertahankan tanah leluhur daripada membiarkan tanah tersebut dirampok di depan mata. Sebab, menurut Epson, seluruh ruang hidup masyarakat adat, terutama kebun dan hutan merupakan merupakan sumber kehidupan dari generasi ke generasi. "Kalian membuat patok tanpa berdialog dan berkomunikasi dengan masyarakat, maka masyarakat adat Bonani Dolok menolak kebijakan pematokan dan klaim sepihak, tanah adat kami bukan tanah negara," kata dia.

Penolakan juga disampaikan oleh Komunitas Adat Tapian Nauli. Panusunan Simanjuntak mengatakan ia diutus oleh masyarakat adatnya untuk menolak kebijakan pematokan dan klaim tata batas sepihak yang dilakukan KLHK. "Kami merasa dibodoh-bodohi di tanah kami sendiri," kata dia. Alasannya serupa, masyarakat sakit hati dan kecewa atas penyerobotan lahan yang dilakukan KLHK. Pemasangan patok juga tak pernah diketahui oleh masyarakat dan tak pernah melibatkan masyarakat.

Ketua AMAN Tapanuli Utara, Ahmad Simanjuntak, berharap pemerintah bersikap serius menyelesaikan konflik tersebut. "Agar konflik ini tidak berkepanjangan dan mengancam ketenangan hidup masyarakat adat di Tapanuli Utara," kata dia.

Menanggapi hal tersebut, Ketua BPKH Medan Fernando Lumban Tobing menyatakan akan segera melakukan pengecekan di lapangan. "Jika patok berada di kebun atau rumah warga, akan kami geser. Kami masih menunggu data wilayah adat yang terkena kawasan hutan negara," kata dia.

Share this Post: