Wajar Warga Menuntut Pembakar Hutan di Pengadilan

"Udara bersih adalah hak azasi setiap warga negara Indonesia, maka sangat wajar bila warga menuntut atau menggugat para pembakar hutan di pengadilan dan gugatan warga negara Indonesia ini harus didukung secara luas oleh publik di Indonesia," demikian disampaikan Kiki Taufik dari Greenpeace Indonesia, salah satu pemateri acara diskusi memperingati Hari Hak Azasi Manusia Internasional, 13 Desember 2024, di Ruang Auditorium Lantai 4 Fakultas Sains dan Teknologi, Kampus B Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, Sumatera Selatan.

Kiki berpendapat, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang menahun di wilayah bergambut, termasuk di Sumatera Selatan, bisa dihentikan apabila:

  1. Pemeritah tidak lagi memberikan izin konsesi dilahan gambut.
  2. Pemerintah dan perusahaan harus bertanggung jawab memulihkan atau merestorasi gambut yang rusak.
  3. Pemerintah mengevaluasi perizinan secara menyeluruh dan transparan.
  4. Penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu dan transparan.
  5. Adanya gerakan dari masyarakat atau publik untuk terus mendesak pertanggungjawaban perusahaan dan pemerintah terhadap setiap karhutla yg terjadi di wilayahnya.

Diskusi bertema "Gugatan Warga Negara VS Korporasi dalam hal menuntut Keadilan dan Mencegah Masalah Tahunan" diselenggarakan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Ushuludidin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, bekerja sama Sarekat Hijau Indonesia Sumatera Selatan, rawang.id, Greenpeace Indonesia, Solidaritas Perempuan Palembang, Lembaga Bantuan Hukum Palembang, Spora Institute.

Kegiatan focus group discussion yang dimoderatori oleh Arisqi Yulinda ini bertujuan menggali perspektif kritis dalam pembahasan isu-isu hak asasi manusia yang seringkali berulang, khususnya dalam konteks hubungan antara warga negara dan korporasi.

"Saya selaku Ketua PMII Rayon Ushuluddin dan Pemikiran Islam menginisiasi kegiatan diskusi publik agar dapat memberikan stimulan kepada masyarakat khususnya mahasiswa bahwa problem ekologis adalah isu global yang tidak bisa dianggap sepele. Karena lingkungan, kita bisa hidup dan tidak ada alasan untuk kita apatis. Semoga atas inisiasi ini anak-anak muda tambah aware dan merumuskan aksi," kata Zelvan Ramadhan, Ketua Rayon PMII Fakultas Ushuliddin dan Pemikiran Islam, UIN Raden Fatah Palembang.

Pemateri kedua, Mutia Maharani dari Solidaritas Perempuan Palembang, juga memaparkan ketika terjadi kebakaran hutan dan lahan yang disebabkan oleh korporasi maka hal ini sering berdampak lebih besar pada perempuan, terutama dalam hal kehilangan akses terhadap sumber daya alam yang menopang kehidupan sehari-hari.

Mutia menegaskan kalau perempuan adalah ujung tombak perubahan, karena mereka terlibat langsung dalam upaya mempertahankan lingkungan dan hak asasi komunitas.

Lebih lanjut, Mutia, mengatakan karhutla juga mengakibatkan dua pilihan yang membingungkan bagi perempuan buruh tani, "Ketika kabut asap terjadi pilihannya:  mereka keluar mati dan tidak keluar mereka tidak bisa melakukan aktifitas bertani. Artinya mereka tidak bisa makan. Oleh karena itu penting bagi kita sebagai masyarakat, khususnya kaum perempuan, melawan korporasi yang membuat dampak lingkungan sehingga menghilangkan hak lingkungan yang sehat bagi kaum perempuan."

Juardan Gulton, dari LBH Palembang, juga menyampaikan bahwa dengan adanya gugatan asap oleh 11 warga Sumsel sudah mewakili suara masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Sumatera Selata.

"Lembaga Bantuan Hukum Palembang secara khusus mendampingi masyarakat dalam isu-isu hukum, terutama terkait pelanggaran HAM oleh korporasi. LBH akan menekankan pentingnya upaya hukum dalam melawan eksploitasi sumber daya alam, pelanggaran hak masyarakat adat, serta pentingnya mekanisme gugatan perdata atau pidana terhadap korporasi yang merugikan masyarakat."

Share this Post: