Otonomi Khusus Belum Berikan Dampak Berarti bagi Orang Asli Papua
Pemberlakuan otonomi khusus dan penambahan daerah otonomi baru belum memberikan dampak berarti bagi orang asli Papua, demikian disampaikan Frits Bernard Ramandey, Kepala Komnas HAM RI Perwakilan Papua, dalam jumpa pers di Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua, 10 Desember 2024.
"Misalnya, akses warga negara untuk memperoleh layanan kesehatan, pendidikan, dan akses layanan sosial lainnya masih jauh dari harapan. Negata melalui aparatnya kerap kali membungkan ruang kebebasan bagi warga untuk menyampaikan aspirasinya," kata Frits memberikan contoh.
Frits Bernard Ramandey menyampaikan tantangan utama bagi Pemerintah Republik Indonesia saat ini adalah bagaimana membangun kepercayaan rakyat Papua dengan menumbuhkan persamaan kesetaraan, penegakan hukum yang adil dan non diskriminatif sebagai upaya membangun ekosistem damai menuju dialog kemanusiaan.
Frits menyampaikan kekhawatirannya antara lain kehadiran investor dan pembangunan proyek strategis nasional di beberapa daerah di Papua, "Akan terus menimbulkan konflik dengan masyarakat adat setempat."
Data Komnas HAM Perwakilan Papua menunjukkan pada tahun 2024 konflik dan kekerasan masih terus berulang, terutama di sejumlah daerah rawan konflik. "Setiap kekerasan kerap menimbulkan korban baik di pihak aparat, kelompok sipil bersenjata dan warga sipil," kata Frits.
Dari 1 Januari - 9 Desember 2024, Komnas HAM Perwakilan Papua mencatat terjadi 85 kasus kekerasan di berbagai wilayah di Tanah Papua. "Dari 85 kasus kekerasan, peristiwa kontak senjata dan penembakan mendominasi yaitu sebanyak 55 kasus. Pengniayaan sebanyak 14 kasus, perusakan 10 kasus, dan kerusuhan 6 kasus. Satu insiden seringkali memicu lebih dari satu jenis tindakan kekerasan," kata Frits menyampaikan kasus-kasus kekerasan selam 2024.
Berikut ini jumlah kasus berdasarkan wilayah:
- Kabupaten Puncah di Papua Tengah menjadi wilayah dengan jumlah kasus tertinggi yaitu 13 kasus.
- Kabupaten Intan Jaya sebanyak 11 kasus.
- Kabupaten Yahukimo 10 dan Paniai masing-masing 10 kasus.
- Kabupaten Puncak Jaya 9 kasus.
- Kabupaten Pegunungan Bintang 7 kasus.
- Kabupaten Nabire 5 kasus.
- Kabupaten Jayawijaya, Dogiyai, Mimika, dan Kerom masing-masing 3 kasus.
- Kabupaten Nduga dan Maybrat masing-masing 2 kasus
- Kabupaten Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, Manokwari, dan Kota Jayapura masing-masing 1 kasus.
Berbagai kasus kekerasan itu, seperti disampaikan Frits, memakan korban 71 orang meninggal, 43 orang luka-luka. Warga sipil yang menjadi korban sebanyak 68 orang. Warga sipil yang meninggal 40 orang dan 28 luka-luka. Korban dari aparat keamanan sebanyak 26 orang yaitu 15 meninggal dan 11 luka-luka.
"Sementara itu, dari pihak TPNPB-OPM terdapat 19 korban, terdiri dari 15 meninggal dunia dan 4 luka-luka. Satu warga negara asing juga dilaporkan meninggal dunia," kata Frits.
Dari 68 korban warga sipil, terdapat 2 anak yang meninggal dan 1 anak luka-luka, dan 2 perempuan juga meninggal. Selain itu, 23 laki-laki dewasa mengalami luka-luka. Di pihak TPNPB-OPM, semua korban adalah laki-laki dewasa sebanyak 19 korban, di antaranya 15 orang meninggal dunia dan 4 orang terluka, demikian disampaikan Frits.
Sementara itu, dari 26 korban aparat keamanan, 9 anggota TNI meninggal dunia dan 7 orang luka-luka, sedangkan dari Polri, 6 orang meninggal dunia dan 4 orang terluka. Kekerasan ini juga menyebabkan gelombang pengungsian serta kerusakan pada sejumlah bangunan dan kendaraan," kata Frits lebih lanjut.
Secara faktual, kata Ramandey, setiap konflik kekerasan yang terjadi dapat dilihat sebagai respon atas peristiwa sosial ekonomi maupun kebijakan politik. Ketegangan maupun konflik bersenjata di Papua, menurut Frits, membutuhkan ruang-ruang dialog antara pemerintah pusat, pemerintah daerah serta masyarakat maupun TPNPB-OPM.