Peringatan Hari HAM: Stop Pelanggaran HAM di Papua

Konfederasi Selamatkan Tanah, Hutan, dan Manusia Papua (KSTHMP) menggelar aksi di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya pada Selasa, 10 Desember 2024.

Aksi yang dilakukan untuk memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia itu mengusung tema "Bangsa Papua juga Punya HAM". Dalam aksi tersebut, para aktivis menyuarakan protes karena maraknya pelanggaran HAM di Papua.

Fiktor Kafiyu, ketua KSTHMP, mengatakan aksi ini dilaksanakan sebagai bentuk refleksi terhadap Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diadopsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 Desember 1948. 

Tema global peringatan Hari HAM tahun ini adalah "Cultivating a Culture of Peace", sementara tema nasional Indonesia adalah "Harmoni dalam Keberagaman Menuju Indonesia Emas 2045." Namun, Fiktor, kenyataan di Papua masih jauh dari cita-cita HAM. 

"Hari ini, kami hadir untuk menyuarakan kondisi masyarakat adat Papua yang terancam oleh pembangunan ekstraktif dan perampasan ruang hidup atas nama pertumbuhan ekonomi," ujar Fiktor. 

Aksi ini menyoroti berbagai persoalan pelanggaran HAM di Papua. Mulai dari deforestasi akibat eksploitasi sumber daya alam hingga pelanggaran HAM berat yang tidak kunjung terselesaikan pengusutannya.

Samuel Moifilit, Juru Kampanye Selamat Hutan Malamoi, menyatakan bahwa kebijakan seperti Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sorong justru merugikan masyarakat adat. “KEK Sorong hanya memperkaya pemilik modal dan mengorbankan hak masyarakat adat Moi. Sejak 1935, suku Moi hidup dalam ketidakadilan, sumber daya mereka diambil, sementara kehidupan mereka terabaikan," kata Samuel. 

Samuel juga mempersoalkan adanya pembungkaman demokrasi, represivitas aparat, dan penangkapan sewenang-wenang terhadap aktivis Papua. Ia mengingatkan bahwa ribuan kasus pelanggaran HAM di Papua belum mendapatkan penyelesaian yang adil. 

Jenny Salamala dari KSTHMP menambahkan bahwa eksploitasi sumber daya alam dan kebijakan seperti Otonomi Khusus (Otsus) hanya memperburuk ketimpangan ekonomi dan sosial. "Hutan dan tanah adat terus dirampas. Kehadiran investasi besar tidak memberikan manfaat bagi masyarakat adat, tetapi malah mengancam keberlangsungan hidup mereka," ujar Jenny. 

Ia juga mengkritik program transmigrasi dan dominasi pendatang yang semakin marginalisasi orang asli Papua (OAP). "Dominasi penduduk luar mempengaruhi semua aspek, termasuk budaya dan identitas masyarakat adat Papua," imbuhnya. 

Aksi ini mendapat dukungan sejumlah organisasi sipil. Seperti Gerakan Perjuangan Rakyat Papua (GPRP), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong, Greenpeace Indonesia Basis Sorong, dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat. Bersama-sama, mereka menyerukan penghentian perampasan ruang hidup masyarakat adat Papua dan penegakan keadilan bagi seluruh rakyat Papua.

Dalam aksi tersebut KSTHMP menyampaikan sejumlah tuntutan, di antaranya: 

  1. Meminta pemerintah Indonesia mencabut semua izin eksploitasi sumber daya alam yang merugikan masyarakat adat. Serta mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat Papua.
  2. Meminta pemerintah menghentikan proyek KEK Sorong dan program transmigrasi yang dinilai merugikan masyarakat adat.
  3. Meminta pemerintah mengimplementasikan Perda No. 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi. 
  4. Mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelesaikan pengusutan pelanggaran HAM berat di Papua Barat. 
  5. Mendesak negara-negara yang berinvestasi di Papua untuk menghormati prinsip HAM. 
  6. Mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat untuk melindungi hak-hak masyarakat adat secara hukum. 



Share this Post: