Masyarakat Adat di Merauke Menolak PSN Food Estate

Masyarakat Adat Malind yang menjadi korban pengusuran dan penyerobotan tanah adat serta serta masyarakat lokal di sekitar Proyek Strategis Nasional (PSN) Ketahanan Pangan dan Energy food estate, melangsungkan Audiensi bersama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Merauke pada Senin, 02 Desember 2024.

Anggota DPD yang hadir adalah Ketua Komite II Badikenita Sitepu, Wakil Ketua III Komite II DPD RI A. Abd. Waris Halid serta 2 perwakilan DPD RI asal Papua Selatan. Audiensi tersebut dilangsungkan di auditorium Kantor Bupati Merauke. 

Masyarakat Adat yang hadir sebagai perwakilan dan menyampaikan sikap penolakan terhadap PSN food estate tersebut antara lain dari Distrik Ilwayab, Distrik Tubang, Distrik Okaba, Distrik Eligobel, Distrik Sota, Distrik Nguti, dan Distrik Kimaam. 

Dari Distrik Ilwayab terdiri dari Kampung Wogikel, Kampung Yulili, Kampung Bibikem, dan Kampung Wanam. Di Distrik ilwayap juga ada 4 marga yang menolak PSN food estate yaitu Marga Moiwend, Gebze, Balagaize, dan Basik-basik yang merupakan korban langsung penyerobotan dan penggusuran paksa. 

Sedangkan dari Distrik Tubang terdiri dari Kampung Wamal, Kampung Dokip, Kampung, Kampung Dudalim, Kampung Yowid, Kampung Woboyu dan Kampung Welbuti. Kemudian Distrik Okaba terdiri dari warga Kampung Magai Wambi, Kampung S Wambi, kampung Du Miraf, Kampung Iwol, Kampung Makalin, Kampung OKaba, Kampung Alaku, Kampung Alatep, dan Kampung Sangase. 

Kemudian di Distrik Eligobel terdiri dari warga Kampung Tanas, Kampung Kweeel, Kampung Bupul dan Kampung Torai. Distrik Sota terdiri dari Kampung Erambu dan Kampung Tanas. Distrik Nguti terdiri dari Kampung Salamepe, Kampung Nakias, Kampung Tagaepe, Kampung Puepe, Kampung Yomob, Kampung Yawimo, dan Kampung Kwemsik. Distrik Kimaam terdiri dari Kampung Tururam, dan kampung Webu. Distrik Padua terdiri dari Kampung Bamol, Sigat, dan Kalwa.

Dalam Audiensi tersebut perwakilan masing-masing kampung dan pemilik hak ulayat menyampaikan pernyataan sikap penolakan terhadap PSN food estate di Merauke. Menurut mereka, kebijakan PSN Merauke diterbitkan tanpa ada kesepakatan luas masyarakat berdasarkan prinsip FPIC (Free Prior Informed Consent), yakni persetujuan masyarakat berdasarkan informasi sejak awal proyek dan tanpa ada paksaan, manipulasi dan rayuan. 

Masyarakat adat merasa bahwa kebijakan dan proyek PSN Merauke diterbitkan tanpa disertai kajian sosial dan lingkungan hidup yang memadai, serta melibatkan masyarakat adat terdampak langsung dan tidak langsung. Hingga saat ini, warga belum mendapatkan dokumen hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan dokumen lingkungan hidup lainnya. Padahal, pemerintah dan perusahaan Jhonlin Group, serta 10 perusahaan perkebunan telah mengoperasikan alat dan sumber daya menggusur kawasan hutan, savana, rawa dan lahan gambut yang merupakan lahan penghidupan masyarakat sekitar. Sejumlah lokasi yang juga merupakan kawasan sakral bagi masyarakat adat.

Dalam pernyataan sikap tersebut mereka juga menyatakan bahwa pemberian izin usaha dilakukan secara tertutup, tidak transparan sehingga hanya menguntungkan kelompok tertentu namun merugikan masyarakat adat.

Mereka juga mempersoalkan pengerahan aparat TNI dalam proses pengambilan hak atas tanah. Keterlibatan militer tersebut membuat masyarakat merasa tidak aman dan tertekan secara psikis. 

Mereka menilai pelaksanaan proyek PSN food estate di Merauke bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hak asasi manusia dan hak masyarakat adat. 

Karena itu mereka menyatakan menolak proyek PSN food estate Merauke dan meminta kepada pimpinan DPD RI, Ketua Komite II DPD RI serta anggota DPD RI Provinsi Papua Selatan agar mendesak Presiden Presiden Prabowo Subianto menghentikan proyek tersebut.

Share this Post: