1 Warga Adat Toruakat Tewas Ditembak Saat Diserang Preman PT BDL

Pada hari Senin, 27 September 2021 di Kabupaten Bolaang Mongondow – Sulawesi Utara, terjadi penyerangan terhadap Masyarakat Adat Toruakat yang sedang melakukan pengecekan batas-batas wilayah adatnya. Penyerangan tersebut dilakukan oleh preman bayaran perusahaan tambang emas PT. Bulawan Daya Lestari (PT BDL). Peristiwa tersebut telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.

Seorang warga Masyarakat Adat Toruakat meninggal akibat ditembak pada bagian dada dan 4 orang lainnya mengalami luka-luka karena diserang sekelompok preman bayaran yang direkrut perusahaan untuk melakukan pengamanan di lokasi tambang tersebut.

Sebelumnya, Masyarakat Adat Toruakat mendapatkan informasi bahwa pihak perusahaan telah memasuki wilayah adat dan merusak sejumlah kebun milik Masyarakat Adat. Menyikapi informasi tersebut, Masyarakat Adat melakukan musyawarah untuk memastikan lokasi dan mengecek batas-batas wilayahnya.

Untuk memastikan kelancaran, Masyarakat Adat Toruakat mendatangi Kepolisian Resort Bolaang Mongondow dan menyampaikan maksud kegiatan turun lapangan tersebut. Pihak kepolisian pun menerjunkan tim pengamanan serta menghimbau masyarakat untuk tidak membawa senjata tajam.
Pada saat melakukan pengecekan lapangan, tiba-tiba Masyarakat Adat setempat diserang oleh sekelompok preman. Pihak kepolisian yang hadir di lokasi tersebut pun tidak melakukan tindakan apapun demi mencegah atau membubarkan kelompok penyerang.

Berkaitan dengan peristiwa ini, Masyarakat Adat Toruakat meminta pemerintah untuk segera menutup PT. Bulawan Daya Lestari. Selain itu, Masyarakat Adat meminta agar Kapolri untuk menindak tegas pelaku penembakan dan menangkap para mafia tanah yang mengambil keuntungan dengan mengorbankan Masyarakat Adat Toruakat.

Menyikapi peristiwa ini, Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi mengatakan bahwa peristiwa yang menimpa Masyarakat Adat Toruakat tersebut merupakan cerminan dari banyaknya kasus konflik wilayah adat yang tidak diselesaikan secara baik oleh pemerintah. “Izin diobral secara serampangan demi mengejar investasi tanpa peduli lokasi yang ditunjuk tersebut milik siapa dan tidak ada pengawasan serta evaluasi apakah perusahaan pertambangan tersebut melakukan perusakan lingkungan atau tidak,” kata Rukka.

Rukka melanjutkan, ketiadaan perlindungan dari pemerintah telah menyebabkan masyarakat menjadi korban. Pihak kepolisian yang diharapkan menjadi pelindung dan pengayom masyarakat juga tidak mampu berbuat banyak atas aksi kekerasan yang dilakukan oleh preman perusahaan.

Rukka mendesak agar seluruh aparat dan kelompok masyarakat yang bukan merupakan Masyarakat Adat setempat harus ditarik dari lokasi tersebut, karena mereka (perusahaan) bisa saja membawa masyarakat lainnya yang berasal dari luar termasuk kampung sekitarnya. Selain itu ia mendesak Komnas HAM untuk menindaklanjuti kasus tersebut secara cepat. “Seluruh aparat dan warga yang bukan Masyarakat Adat setempat harus ditarik. Masyarakat Adat Toruaka sudah ada yang meninggal dan yang lainnya luka-luka, dan Komnas HAM harus segera bergerak dan melakukan pendampingan. Tindakan yang terjadi hari ini telah melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia yang dilakukan oleh perusahan maupun pihak-pihak terkait terhadap Masyarakat Adat Toruakat,” ujar Rukka.

“Gubernur Sulawesi Utara dan Bupati Bolaang Mongondow segera berkoordinasi, perintahkan tarik dan bersihkan lokasi konflik dari preman bersenjata dan aparat kepolisian,” kata Rukka.

Senada dengan Rukka, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Merah Johansyah menyatakan bahwa kasus penembakan yang terjadi pada warga Masyarakat Adat Toruaka telah berdampak pada ketidakseriusan pemerintah dan aparat dalam menyelesaikan seluruh konflik pertambangan yang ada di Indonesia. “Kami mempertanyakan, mengapa Pemerintah Daerah, yakni Gubernur dan Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) mengeluarkan SK 503/DPMPTSP/IUP-OP/241/X/2020 dan melakukan pencatatan pada sistem Mineral One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada entitas pertambangan bermasalah ini yang diduga juga masih belum memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH),” kata Merah.

Merah juga menyampaikan bahwa sejak awal kehadiran dan kegiatan penambangan tersebut terekam dan tersebar di berbagai media pada awal 2019. Tapi, Kementerian ESDM tidak melakukan pengecekan informasi dan tidak menyelesaikan masalah di lokasi tersebut dan justeru memberikan sertifikat Clean and Clear (CnC) Tahap 1, sehingga menjadi pembenaran bagi perusahaan diklasifikasi seolah bebas masalah. Selain itu, terdapat juga kejanggalan berupa dugaan penerapan tanggal mundur untuk mendukung operasi perusahaan ini dalam sistem MODI ESDM. “Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan DPMPTSP tercatat pada tahun 2020, namun tanggal mulai berlaku tercantum sejak 11 Maret 2019 hingga 11 Maret 2029. Hal ini menimbulkan kecurigaan dan memunculkan pertanyaan keabsahan kegiatan pertambangan selama tahun 2019 hingga 2020 dapat diduga sebagai periode operasi ‘ilegal’ atau tanpa dasar hukum,” Merah menjelaskan.

“Gubernur, Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Energi Sumberdaya Mineral Sulwesi Utara harus segera melakukan evaluasi, mencabut dan membatalkan pemberian izin pertambangan emas PT Bulawan Daya Lestari ini, apalagi telah memicu konflik berdarah dan diiringi pelanggaran hak asasi manusia dan hak Masyarakat Adat. Kami pun mendesak agar dokumen-dokumen tersebut harus dibuka ke public”, ungkap Merah.

Sebagai informasi, PT. Bulawan Daya Lestari (BDL) beralamat di Jln. W.Z. Yohanes No.12 Manado Propinsi Sulawesi Utara, 95118. PT BDL tersebut tercatat memiliki Ijin Usaha Pertambangan seluas 99.84 hektar. Berdasarkan penelusuran yang ada, PT BDL merupakan milik perseorangan atas nama Edwin Efraim Tanesia (95% saham kepemilikan) dan Denny Ramon Karwur (5% saham kepemilikan). Sementara dalam struktur perusahaan, Edwin Efraim Tanesia menjabat sebagai Komisaris, Denny Ramon Kawur sebagai Direktur Utama bersama Jetty Roeroe S.IK dan Michael Tumbol sebagai Direktur.*/**

Share this Post: