Pemerintah Sorong Selatan Akui Wilayah Adat Knasaimos
Sehari setelah peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada 5 Juni 2024, masyarakat Knasaimos menerima surat keputusan pengakuan wilayah adat dari Bupati Sorong Selatan.
Warkat yang telah dinantikan ini mengakui wilayah adat Knasaimos seluas 97.441 hektare yang membentang di dua distrik. Yakni Distrik Saifi dan Seremuk. Sebagai perbandingan, wilayah adat ini lebih besar dari Provinsi DKI Jakarta yang luasnya 66.150 hektare.
Acara penyerahan tersebut berlangsung di kantor Sekretariat Panitia Masyarakat Hukum Adat Sorong Selatan di Teminabuan, Sorong Selatan, Papua Barat Daya pada Kamis, 6 Juni 2024.
Perwakilan masyarakat Knasaimos menghadiri prosesi pemberian SK dengan mengenakan busana adat. “Pengakuan wilayah adat penting untuk memberikan kepastian hukum bagi kami masyarakat adat. Kami berharap, kepastian hukum ini bisa memperkuat benteng pertahanan kami untuk menjaga hutan dan wilayah adat dari ancaman investasi yang merugikan masyarakat adat dan Tanah Papua,” kata Fredrik Sagisolo, Ketua Dewan Persekutuan Masyarakat Adat Knasaimos.
Sekretaris Daerah Kabupaten Sorong Selatan Dance Nauw, mewakili Bupati Sorong Selatan Samsudin Anggiluli, dalam sambutannya menyampaikan SK ini bukan sekadar dokumen administratif, tapi bentuk penghormatan dan pengakuan atas eksistensi dan peran penting masyarakat adat menjaga kelestarian lingkungan dan budaya lokal. Pengakuan wilayah adat ini juga disebutnya sebagai tonggak sejarah dan bukti kepedulian terhadap konstituen.
“Pengakuan ini menunjukkan kepada masyarakat setempat dan pemerintah pusat, bahwa komitmen untuk melindungi lingkungan serta memastikan martabat dan kesejahteraan masyarakat adat berjalan beriringan. Kami berharap pengakuan ini dapat memperkuat semangat gotong royong dan kebersamaan dalam mengelola wilayah adat demi kesejahteraan bersama,” ujarnya.
Bupati Sorong Selatan juga memberikan SK pengakuan serupa kepada masyarakat adat di Distrik Konda.
Dalam dua dekade terakhir, masyarakat Knasaimos telah berjuang untuk melindungi tanah dan hutan adat mereka dari eksploitasi. Ketika pembalak kayu merbau dan perusahaan sawit menyasar wilayah mereka, orang Knasaimos gigih menolak.
Masyarakat Knasaimos juga melakukan pemetaan wilayah adat. Mereka juga berupaya mewujudkan kemandirian pangan serta ekonomi dengan mengolah dan menjual sagu.
Masyarakat adat, khususnya perempuan adat, hidup dalam ketergantungan dengan alam. Hutan adat merupakan identitas, kebun, sekaligus apotek bagi perempuan Knasaimos. Para mama mengambil sayur, obat-obatan alami, hingga sagu yang mereka olah untuk makan keluarga serta dijual–hasilnya untuk mengirim anak-anak ke bangku sekolah.
“Dengan pengakuan ini, kami berharap masyarakat dapat mengelola tanah adat, memperoleh manfaat, dan hidup dengan kearifan lokal yang dimiliki tanpa harus menjual tanah dan kehilangan hutan,” ucap Duketini Maria Youwe dari Bentara Papua.
Pada 2016, masyarakat adat Knasaimos sudah mendapatkan surat keputusan penetapan hutan desa atau kampung dari Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Tiga tahun kemudian mereka mendapat hak kelola hutan desa.
Amos Sumbung, Juru Kampanye Hutan Papua Greenpeace Indonesia mengatakan masyarakat adat masih harus berjuang keras agar hak-hak mereka diakui dan dihormati. Masyarakat adat khususnya di Tanah Papua terus mengalami ancaman perampasan hutan adat, seperti yang kini dialami masyarakat adat Awyu di Boven Digoel yang memicu munculnya kampanye #AllEyesOnPapua di media sosial.
“Masih banyak masyarakat adat lainnya di Tanah Papua dan di seluruh Tanah Air, yang kehilangan tanah, hutan, dan keanekaragaman hayati mereka secara permanen karena pemerintah menyerahkannya untuk kepentingan perusahaan,” kata Amos Sumbung.
Menurut dia, pengakuan masyarakat adat seharusnya tak hanya dilakukan oleh pemerintah daerah seperti di Sorong Selatan ini, tapi mesti juga dilakukan pemerintah pusat. Presiden dan DPR harus segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang sudah lebih dari 10 tahun tak kunjung diselesaikan.