Rakernas AMAN Resmi Ditutup

Rapat Tahunan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Rakernas AMAN) ke-VIII yang berlangsung di Desa Kedang Ipil, Kecamatan Kota Bangun Darat, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur resmi ditutup pada 16 April 2025.

Penutupan dipimpin oleh Kepala Desa Kedang Ipil Kuspawansyah. Dalam sambutanya Kuspawansyah berharap agar keputusan dari Rakernas AMAN ke-VIII ini mampu menguatkan masyarakat adat, termasuk masyarakat adat di Desa Kedang Ipil yang mulai terancam dengan ekspansi yang mengancam wilayah adat mereka. 

Dia juga berharap supaya Komunitas Adat Sumping Layang segera disahkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara menjadi anggota penuh, untuk mengawal masyarakat adat dalam berjuang dan mempertahankan hak-hak mereka.

Rakernas yang berlangsung pada 14-16 April 2025. Acara yang mengusung tema, “Perkuat Resiliensi Masyarakat Adat di Tengah Gempuran Pembangunan yang Merusak” itu dihadiri sekitar 500 perwakilan komunitas adat dari seluruh Indonesia.

Ketua Panitia Pelaksana, Yoga Saeful Rizal, menyatakan bahwa pemilihan Kedang Ipil sebagai tuan rumah RAKERNAS AMAN VIII bukan sekadar teknis, melainkan memuat makna politis. Wilayah adat ini berada di garis depan ancaman ekspansi sawit dan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). “Seluruh kekuatan AMAN berkumpul di sini, memperkuat solidaritas dan strategi perjuangan,” katanya. 

Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, mengatakan masyarakat adat tidak akan tinggal diam menghadapi segala upaya perampasan hak masyarakat adat. “Itulah resiliensi—bangkit dari trauma dengan kesadaran politik, sejarah, dan spiritualitas. Dunia telah mengakui bahwa keberlanjutan lingkungan tak lepas dari peran masyarakat adat,” ujarnya.

Akademisi Fakultas Hukum UGM, Yance Arizona, menyampaikan bahwa Indonesia saat ini sedang berada dalam proses menuju otoritarianisme. Masyarakat adat menjadi kelompok yang paling rentan menjadi korban. Pembangunan yang dilakukan pemerintah seringkali justru menyebabkan masyarakat adat terusir dari tanah ulayat mereka. Sehingga wajar jika ada resistensi masyarakat adat terhadap pembangunan yang merusak. “Masyarakat adat tidak anti pembangunan. Tetapi Masyarakat adat menolak pembangunan yang menghilangkan tanah (baca: wilayah). Sebab bagi Masyarakat Adat, identitas melekat pada tanah. Jika tanah diganggu, berarti ada identitas yang hendak dihapus,” ujarnya.

Share this Post: