AMAN Pertanyakan Keberpihakan Prabowo pada Masyarakat Adat
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN mempertanyakan keberpihakan Presiden Prabowo Subianto kepada masyarakat adat. Dalam refleksi akhir tahun 2024, AMAN menyatakan bahwa belum ada kebijakan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang secara jelas membela masyarakat adat.
“Situasi masyarakat adat justru semakin buruk saat ini,” ujar Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi dalam acara Media Briefing peluncuran Catatan Akhir Tahun AMAN 2024 di Jakarta pada Kamis, 19 Desember 2024.
Jika mengacu pada 17 program prioritas Prabowo-Gibran yang tertera pada dokumen rancangan awal RPJMN 2025-2029, tidak ada satu pun program prioritas yang terkait masyarakat adat. Pun pidato Prabowo Subianto pada pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih 20 Oktober 2024 lalu lebih menekankan komitmen pembangunan yang melanjutkan agenda rezim Joko Widodo, termasuk agenda pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur.
Berdasarkan kajian AMAN, proyek IKN saat ini tidak lebih hanya sekedar menjadi komoditas politik untuk mendapatkan investasi tanpa memperhatikan nasib 20 ribu lebih warga masyarakat adat yang tergusur akibat proyek ambisius tersebut.
AMAN juga menilai rezim pemerintahan kali ini bernuansa militeristik yang berkelindan dengan kepentingan bisnis. Salah satu indikasinya adalah pada agenda pembentukan batalyon infanteri (Yonif) teritorial pembangunan untuk mengamankan proyek Program Ketahanan Pangan Nasional, khususnya proyek ketahanan pangan di Merauke. Selain itu, pada rapat kerja antara Menteri Pertahanan dan Komisi I DPR RI menyampaikan akan membentuk 100 Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan yang terdiri atas kompi perikanan, perkebunan, dan pertanian.
Perluasan kewenangan militer dikhawatirkan akan mengancam hak-hak warga sipil khususnya masyarakat adat atas pengelolaan agraria serta menjadi dalih pembenaran keterlibatan militer dalam mengamankan proyek-proyek strategis nasional (PSN).
Mengacu pada kondisi tersebut, menurut AMAN, sikap rezim yang baru ini tidak jauh berbeda dengan rezim sebelumnya yang hanya memprioritaskan investasi dan bisnis. Transisi kekuasaan yang berlangsung justru menjadi 'beban' baru bagi masyarakat adat, sebab tantangan dan ancaman terhadap perampasan wilayah adat semakin meningkat.
“Tidak ada perubahan yang berarti bagi upaya pemerintahan baru untuk memprioritaskan agenda pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat,” ujar Deputi II Sekjen AMAN, Erasmus Cahyadi di acara yang sama.